SOLO memang kaya dengan kuliner yang enak. Dan murah. Dan memang, ke manapun kaki di langkahkan, makanan yang enak dapat selalu ditemukan. ‘’Di sini, kita seperti di kepung makanan. Dan enak semua. Terjangkau semua,’’ promo seorang teman.
Ayo kita buktikan!
Maka, ketika kami menanyakan makanan olahan kambing, dia langsung menyebutkan berbagai nama warung sampai resto. Dan kami puyeng. Kami minya saja dia pilihkan. Dan setelah berpikir sejenak, mulai dari jarak tempuh dan tebakan keramaian warung di jam makan siang, dia memilihkan satu nama: Mbok Galak.
Nama yang terkenal memang. Di media sosial, nama ini pun familiar. Maka, hasrat mencoba pun menyala. Segera mobil diarahkan ke sana. Dan hanya lepas sepuntung rokok, kami tiba di warung di Mangunsarkoro itu.
Warung penuh. Asap juga menebal, menguarkan bau daging kambing dan kecap, yang membuat irama di perut langsung bersahutan. Untunglah, di bagian belakang, di seberang jalan, ada ruangan yang masih kosong. Kami pun mengitar di situ.
Maka, sate buntel segera dipesan. Plus gule. Lalu tengkleng, lalu sate. Plus tongseng. Semua paket dobel. Minum satu warna, jeruk panas. Niatnya satu: siang hari ini harus gemobyos. Hahaha…
Dan tak berselang lama, makanan datang. Panas. Mengepul. Benar-benar menggoda selera di siang yang amat terik.
Mariung, kami mencoba semuanya. Astazim, endes surendes. Enak surenak. Moi tenan rasanya. Di sini, kegalakan itu ternyata pilihan sendiri. Kita yang kemudian meracik sambal, untuk menyesuaikan dengan kemampuan lidah menyerah pedas. Di meja memang disediakan lombok yang astazim galaknya. Lombok raja suwetan tenan.
Tengkleng Mbok Galak memang juara. Dikucuri jeruk dan adukan sambal, lidah seperti menemukan sahabat rasa, meski level pedas membuat seakan ada asap yang keluar dari telinga. Endez surendez, wuenaknya. Apalagi, tulang lunak di pinggiran telinga, makin membuat kegiatan makan seperti diskusi: kita hati-hati dan teliti sekali menguyah dan menikmatinya, hahaha…
Makan pun seperti ritual ibadah. Khusuk. Nikmat.
Tongsengnya, mangstaf. Satenya, mbois tenan. Top markotop. Pokoknya cocok semua. Cuma, sate buntel yang saya kurang merasa istimewa. Biasalah. Mungkin karena daging giling dan terlalu gurih ya, terasa ‘’terlalu’’ di lidah, kekenyalan daging jadi berubah seperti olahan bakso panjang.
Nyaris 30 menit ritual khusuk itu kami jalani. Lalu, ketika tengkleng, gule, dan tongseng seperti melesap, hilang, kami pun sadar: ritual ini harus diakhiri. Betapa kenikmatan yang hanya sepanjang leher itu bisa melenakan sungguh.
Kok semua enak? Lha, memang enak kok. Masa bohong? Coba deh!
Soal harga? Lha, jika makanan enak, jangan bicara harga. Pamali. Jika ga enak, baru dicocokkan dengan harganya, hahaha…
Wis ya, ayo ke Mbok Galak. Kita akan tahu, rasa kambing bisa menyapa dengan begitu syahdu.
Editor : zainal arifin