get app
inews
Aa Text
Read Next : Dalam Sehari, Bea Cukai Semarang Gagalkan Distribusi 444 Ribu Batang Rokok Ilegal

Cukuplah Allah yang Jadi Penjamin

Sabtu, 27 Agustus 2022 | 21:22 WIB
header img

SEORANG pengusaha terkemuka di Damaskus menderita kanker stadium akhir. Ketika itu di Suriah tidak ada rumah sakit yang dapat mengobati penyakit yang mematikan itu. Keluarganya memutuskan untuk dibawa ke Amerika.

Setelah dilakukan berbagai pemeriksaan dan analisis, dokter yang merawat memberitahukan bahwa kanker dalam tubuhnya sudah tidak dapat disembuhkan karena sel-selnya sudah menyebar ke seluruh tubuh, tidak ada harapan untuk bertahan hidup.

Dengan berterus terang, dokter itu berkata, “Kesempatan hidup Anda tidak lebih dari satu bulan. Sebaiknya Anda segera kembali ke negara Anda untuk menghabiskan sisa waktu dengan menikmati apa saja yang Anda sukai.”

Pengusaha itu pun kembali ke Suriah. Dua minggu sudah berlalu. Ia sudah bersiap-siap menunggu ajal tiba.

Pada suatu malam yang cerah, pengusaha itu merasa sesak napas. Ia keluar rumah, berjalan tanpa arah sekedar untuk menghirup udara segar. Sesekali ia berhenti di trotoar untuk menghirup napas panjang. 

Tidak jauh dari tempat ia berdiri, ada seorang perempuan muda yang berparas cantik dengan kulit berwarna kuning langsat sedang berdiri sambil memperhatikan setiap kendaraan yang lewat. Begitu ada kendaraan yang melintas, perempuan itu mengacungkan tangannya. Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti. Perempuan itu langsung mendekati kaca jendela mobil yang diturunkan oleh pengemudinya, seorang pemuda tampan. Pengusaha itu mendengar perbincangan antara perempuan dan pemuda: sebuah negosiasi harga untuk berkencan. Perempuan itu menyebutkan nominal yang langsung ditawar oleh sang pemuda. Tidak lama kemudian, dengan muka kesal, pemuda itu menutup kaca jendela mobil dan pergi.

Pengusaha yang sedang mencari udara segar itu penasaran, siapa perempuan dan pemuda pengendara mobil mewah tadi. “Maaf, Nak, ada apa dengan pengendara mobil mewah tadi?”

“Oh, itu yang mengajak saya berkencan, tetapi dia tidak mampu membayar harga yang saya tawarkan.”

“Apakah kamu sudah lama menjalani profesi haram ini?”

“Demi Allah, ini baru akan saya coba, setelah semua cara mendapatkan uang gagal saya lakukan, bahkan dengan cara haram seperti ini saja saya masih sulit untuk mendapatkan uang.”

Lalu perempuan itu bercerita tentang nasib diri dan anaknya. Ia diusir dari rumah kontrakannya karena tidak mampu membayar uang sewa. Ia dan anaknya menjadi gelandangan. Anaknya sedang meminta-minta di pusat keramaian.

“Suamimu di mana?”

“Suami saya sudah lama diciduk polisi dan sampai sekarang tidak ada kabarnya.”

“Nak, apa yang akan kamu berikan kepadaku jika saya memenuhi semua keperluanmu? Sepanjang hidupmu saya akan memberikan biaya hidup dan kamu tidak akan mengalami kekurangan apa pun.”

“Mintalah apa yang Bapak kehendaki.”

“Saya hanya menginginkan satu hal saja. Kamu harus berjanji untuk tidak menjual kehormatanmu kepada siapa pun sepanjang hidupmu. Saya akan menanggung semua keperluan hidupmu dan anakmu sepanjang hidup. Bagaimana, kamu bersedia?”

“Tentu, saya bersedia,” perempuan itu menjawab cepat.

“Apa jaminannya bahwa kamu akan mematuhi kesepakatan ini?”

“Apakah bapak menerima jika saya jadikan Allah sebagai penjamin?”

“Baik. Silakan berjanji.”

“Aku berjanji kepada-Mu ya Allah, Tuhan yang tidak ada yang mendengar kami selain Engkau bahwa aku akan menepati janjiku sepanjang hidupku dan untuk memuji-Mu yang telah mengirim hamba-Mu yang baik ini untuk menyelamatkan diriku dan anakku dari kesengsaraan.”

“Baik, kita sepakat ya. Ingat, saksi kesepakatan ini adalah Allah. Sekarang, berikan alamat rumah kontrakanmu itu. Segera kamu kembali ke rumahmu bersama anakmu. Tunggu kedatanganku di sana. Saya akan segera menyusul.”

Pengusaha itu langsung pergi ke kantornya. Ia menulis wasiat di atas selembar kertas dan meletakannya dalam brankas. Dalam surat wasiat itu tertulis, “Anak-anakku tercinta. Ayah berwasiat kepada kalian, sepeninggalku nanti kalian, mohon mengirim dana bulanan yang cukup untuk lima orang ke perempuan muda yang tinggal di alamat yang tertera di bawah sepanjang hidup mereka.”

Beberapa saat kemudian, dari brankas pengusaha itu mengambil beberapa gepok uang tunai. Sebelum meninggalkan kantor, ia menelepon toko penjual sembako, memesan sejumlah bahan makanan.

Penguasa itu sampai di rumah kontrakan perempuan. Ia temui pemilik rumah. Ia langsung bayar uang kontrakan yang tertunggak beberapa bulan sebelumnya dan membayar kontrakan untuk tiga tahun ke depan. Tidak lama kemudian, sebuah kendaraan pikap datang membawa sembako.

Dengan perasaan bahagia tiada tara, pengusaha itu kembali ke rumah. 

Beberapa hari menjelang sampai satu bulan, ia bersiap-siap untuk menyambut malaikat maut sebagaimana diprediksikan dokter di Amerika. Detik demi detik ia lalui dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Satu bulan berlalu, pengusaha tesebut masih merasa segar bugar, tidak ada gejala bahwa dirinya akan meninggal dunia. Pada awal bulan berikutnya, ia pergi ke rumah kontrakan sang perempuan, menyerahkan sejumlah uang yang cukup untuk lima orang. 

Demikian setiap bulan, pengusaha itu mendatangi rumah kontrakan perempuan itu, memberinya sejumlah uang. Beberapa tahun berlalu, malaikat maut masih belum juga datang menjemput, dan pengusaha itu setiap awal bulan masih mengantarkan uang kepada sang perempuan.

Kertas wasiat yang ditulis pengusaha itu masih tersimpan di dalam brankas, lebih dari dua puluh tahun.

Di hari Senin, ketika pengusaha itu sujud akhir dalam salat Subuh, ia sujud lama sekali. Ternyata sujudnya itu adalah sujud terakhir. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan bersujud.

Beberapa hari kemudian, selesai masa berkabung, ketika anak-anaknya membuka brangkas, mereka menemukan surat wasiat yang ditulis tangan ayahnya. Ketika anak sulung membaca wasiat, dan melihat kalender, ia berkata, “Wah, sudah terlambat satu minggu untuk mengirim dana bulanan kepada perempuan miskin itu.” Ia langsung membawa sejumlah uang menuju alamat yang tertera dalam surat wasiat.

Ketika ia mengetuk pintu, anak sulung tersebut menemukan seorang perempuan yang tidak lagi muda seperti yang disebutkan dalam surat wasiat ayahnya. “Ini dana bulanan seperti yang diwasiatkan Ayah. Mohon maaf, terlambat satu minggu.”

Sambil berlinang air mata, perempuan itu berkata, “Terima kasih banyak atas bantuannya. Tolong sampaikan kepada ayahmu, kami sangat terbantu selama ini dan sejak bulan ini mohon beliau mencari orang lain yang memerlukan, sementara saya sendiri, alhamdulillah anak saya sejak satu minggu lalu sudah menerima gaji pertama dari perusahaannya. Gaji anak saya insya Allah sudah cukup untuk memenuhi keperluan kami berdua. Tolong sampaikan salam kepada ayahmu dan katakan bahwa kami sepanjang hidup akan selalu mendoakannya.”

Anak sulung itu dengan terisak-isak berkata, “Ayah kami sudah meninggal seminggu lalu.”

(Sumber: WAG, diterjemahkan oleh Saifullah Kamalie)

Editor : zainal arifin

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut