SEPULUH TAHUN setelah masa kenabian, alias tahun 10 Hijriah atau 621 Masehi, Khadijah meninggal dunia. Ini adalah masa yang amat sulit bagi Nabi Muhammad, terutama karena Khadijah adalah pendukungnya yang paling setia menghadapi ancaman dakwah Islam. Apalagi, khadijah justru meninggal, salah satunya, akibat pemboikotan Bani Quraisy atas kabilah Nabi Muhammad.
Dalam pemboikotan itu, penduduk Mekah dilarang untuk berniaga dan urusan lainnya dengan keluarga Nabi Muhammad, yang menyebabkan mereka kekurangan banyak hal, termasuk pangan dan sandang.
Belum lagi kedukaan atas meninggalnya Khadijah, menyusul pembela paling utama lainnya, paman Nabi, Abu Thalib juga menyusul, meninggal dunia. Padahal, sebagai pemimpin Bani Hasyim, ialah yang memberi perlindungan utama pada keponakannya, yang tak dapat diganggu gugat suku Quraisy.
Meninggalnya dua pembela utama inilah yang membuat tahun ke-10 kenabian itu disebut sebagai tahun duka cinta dalam sejarah Islam.
Tapi kita tidak akan mengulas lebih jauh tentang hal di atas. Intinya, di masa yang sangat sulit inilah Nabi kemudian menikah lagi dengan Saudah, perempuan yang juga tengah berduka setelah kematian suaminya.
(2) Saudah binti Zam’ah
Saudah berayahkan Zam’ah bin Qois bin Abdi Wud, beribukan As-Syamus bintu Qois bin Amr. Secara nasab, ibunya merupakan sepupu Abdul Muthalib dari jalur ibu. Sehingga Saudah dengan Abdullah (ayah Nabi) adalah bersepupuan.
Menikah dengan nabi, Saudah adalah janda. Sebelumnya, dia bersuamikan Sakran bin Amr, yang termasuk golongan pertama memeluk Islam. Tanpa suami, Saudah yang menjada di usia 50 tahun itu menjadi sosok yang rentan.
Pernikahan Nabi Muhammad dengan Saudah sebenarnya bukan datang dari niatnya sendiri, melainkan inisiatif dari Khaulah binti Hakim, sahabat Sayyidah Khadijah. Pada saat itu, Khaulah merasa prihatin dengan Nabi Muhammad yang hidup sendiri setelah wafatnya Khadijah, dan kemudian sang paman. Sementara, Saudah juga harus dilindungi dari fitnah kaum musyrik Mekah karena kejandaanya. Jadi, kloplah pernikahan keduanya.
Saat menikah dengan Nabi, Saudah sudah memiliki 6 anak dari Sakran.
Tak banyak catatan tentang Saudah. Dari sedikit cerita itu, tersebutkan Saudah adalah sosok yang sangat pintar bercerita atau mendongeng. Dia juga punya selera humor yang tinggi. Acap kali dia menceritakan kisah lucu, hanya untuk menghibur Nabi yang tengah galau atau banyak pikiran.
Saudah misalnya, pernah bercerita kepada Nabi tentang ruku nabi yang cukup lama, sedangkan dia saat itu tengah mimisan. Saudah yang takut darah dari hidungnya akan jatuh, maka memencet hidungnya selama ruku itu. Dan berharap segera ruku itu selesai, karena dia pun susah bernapas akibat memencet hidung itu.
Nabi yang mendengar cerita Saudah, dan membayangkan betapa lucunya sang istri yang salat sembari memencet hidung, tertawa berderai. Hilang semua gundah di wajahnya, yang membuat Saudah juga senang dan hilang cemas.
Saudah diceritakan juga seorang penakut, terutama pada sosok Dajjal. Aisyah dan Habsyah, istri nabi yang lain, yang tahu tentang hal ini, justru menggodanya dengan sengaja bercerita tentang sosok Dajjal di depan Saudah.
Saudah yang panik dan takut, memilih lari dan bersembunyi di kamar gelap, diiringi cekikikan Aisyah dan Habsyah. Nabi yang kemudian datang, bertanya mengapa mereka tertawa. Nabi yang kemudian tahu, lalu mengundang Saudah dan mengabarkan bahwa Dajjal belum akan datang di masanya. Saudah pun ikut tertawa, dan malu atas ketakutannya yang tak perlu itu.
Terlihat betapa akur dan akrabnya para istri Nabi Muhammad, ya?
Saudah juga sosok yang sangat suka beramal. Hal itu terbukti ketika Nabi Muhammad telah wafat dan Saudah kembali menjanda, dia tidak mau mengambil haknya untuk menjadi pihak yang dimuliakan dan dirawat sebagai bagian dari keluarga Nabi. Saudah justru lebih memilih untuk merawat mereka yang dia nilai lebih terpuruk dan butuh pertolongan daripada dirinya.
Umar bin Khattab pernah memberi Saudah sekantung dirham sebagai biaya untuk kehidupannya. Tapi Saudah justru bertanya, untuk apa dia mendapatkan uang itu. Dia pun kemudian segera membagikan uang tersebut kepada kaum miskin yang lebih membutuhkan.
Saudah juga sosok pengalah, terutama untuk istri nabi lainnya. Karena measa usianya yang sudah tua, Saudah memberikan hak-hak malamnya bersama Nabi kepada istrinya yang lain, Aisyah misalnya.
Tak heran jika Aisyah pun sangat mencintai istri kedua Nabi Muhammad ini. “Tidak pernah aku menemukan wanita yang lebih mencintaiku daripada Saudah binti Zam'ah. Saya berharap saya bisa persis seperti dia.’’ (HR. Muslim).
Editor : zainal arifin