SETIAP yang bernyawa pasti akan mati. Ya, kematian memang sesuatu yang tak dapat dielakkan. Wajarlah jika ada ungkapan bahwa dunia ini sementara, sehingga tak perlu dijadikan tujuan kehidupan.
Penceramah kondang Mahyaruddin Salim dalam seri ‘’Di Seberang Kematian’’ menegaskan bahwa dunia ini seharusnya menjadi celengan yang nanti dibuka setelah kematian. Salim menandaskan bahwa kehidupan di seberang kematian lebih kekal dan karena itu butuh bekal yang lebih pasti.
Kematian, karena pasti, dengan demikian, sesuatu yang tak perlu juga ditakuti.
Penyair Soebagyo Sastro Wardoyo, kakek Dian Sastro, bahkan populer dengan puisi magisnya, ‘’Dan kematian Makin Akrab’’, menandaskan tentang betapa tak terelakkannya maut, bak kawan seiring yang suka bercanda. Dan kematian makin akrab, seakan kawan berkelakar, yang mengajak tertawa -itu bahasa semesta yang dimengerti.
Tapi, meski bukan sesuatu yang tak harus ditakuti, kematian tetap saja menjadi misteri. Tak pernah bisa dimengerti kapan menghampiri. Semisteri bagaimana kehidupan di seberang kematian itu sendiri.
Nah, karena kematian itu pasti sekaligus misteri, maka mempersiapkan diri untuk menghadapi maut itu yang penting. Mati dalam keadaan husnul khatimah, akhir yang baik. Mati yang meski tetap diantar dengan tangis, tapi ada juga sebersit suka cita karena yang ‘’pergi’’ berakhir bahagia.
Akhir yang baik, akhir yang menenangkan itu adalah tujuan. Dan berikut adalah tanda-tanda bagaimana kematian yang husnul khatimah itu.
Pertama, Berpulang di Hari Jumat
Ini memang sudah menjadi pengetahuan umum. Jumat adalah hari yang baik dan berpulang di hari itu atai di malam Jumat selalu menjadi indikasi ‘’kepergian’’ yang mendapatkan ridha Allah.
Tentang betapa bagusnya meninggal di malam atau hari Jumat itu memang bukan tanpa dasar. Banyak hadis yang menguatkan hal itu. Di antaranya yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Tirmidzi.
“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia di hari Jumat atau pada malam Jumat kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.”
Kedua, Meninggal karena Sakit di Perut
Selain berpulang di hari Jumat, meninggal karena sakit di wilayah perut juga banyak diindikasikan menjadi ciri dari husnul khatimah. Meski banyak tafsir tentang ‘’penyakit perut’’ ini, tapi acuan itu membuat ciri kematian yang baik jadi gampang terdeteksi.
Maag atau asam lambung, usus buntu, atau ginjal, tentu bisa jadi indikasi dari kematian yang berasal dari perut ini. Dalil ini dapat dilihat dari hadis yang diriwayatkan Imam Muslim. “Barangsiapa yang mati karena sakit perut maka dia adalah syahid.”
Nanti di artikel berikutnya kita akan menjelaskan dengan lebih panjang apa itu maksudnya mati syahid, dan mengapa banyak sekali ciri mati syahid itu.
Ketiga, Meninggal karena sebab Air
Citi ketiga juga agak mencengangkan. Ini juga berdalil kuat, diriwayatkan langsung oleh Imam Bukhari. Hadis ini juga menguatkan tanda-tanda sebelumnya, dan menambahkan ciri baru, sebagaimana sabda Rasulullah. “Orang yang mati syahid itu ada lima; orang yang meninggal karena penyakit tha’un, sakit perut, tenggelam, orang yang kejatuhan (bangunan atau tebing) dan meninggal di jalan Allah.” (HR Bukhari).
Tentu kita perlu mencari tafsiran yang lebih rinci tentang hal itu, termasuk apa itu sakit thaun, lalu longsor yang seperti apa, dan lainnya. Namun apapun itu, sabda Nabi di atas menunjukkan kepada kita bahwa mati itu juga sebabnya bisa banyak, dan kadang sepele, karena hal itu hanya ‘’cara’’ kembali pada-Nya.
Semoga kita semua nanti kembali dalam keadaan akhir yang baik, husnul khatimah.
Editor : zainal arifin