SEMARANG, iNewsSoloraya.id - Dugderan adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh warga Semarang untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi ini telah dilakukan secara turun-temurun selama berabad-abad.
Nama Dugderan berasal dari kata "dug" yang merujuk pada suara bedug dan "der" yang merujuk pada suara meriam. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini diwujudkan dalam bentuk pesta dengan membunyikan bedug dan meriam.
Sejarah Dugderan
Menurut situs Warisan Budaya Kemdikbud, tradisi Dugderan telah ada sejak abad ke-19. Tokoh yang menggagas tradisi ini adalah Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat pada tahun 1862-1881.
Tradisi ini awalnya diselenggarakan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang awal bulan Ramadhan, karena pada waktu itu belum ada lembaga resmi yang menentukan hal tersebut.
Dalam pelaksanaannya, Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat memerintahkan bawahannya untuk membunyikan bedug sebanyak 17 kali dan diikuti dengan meriam sebanyak 7 kali. Suara tersebut akan membuat masyarakat berkumpul di alun-alun kota yang terletak di depan masjid Kauman.
Kemudian, Kanjeng Bupati dan Imam Masjid Besar memberikan sambutan kepada masyarakat dan memberitahu mereka mengenai waktu awal bulan Ramadhan.
Pelaksanaan Dugderan
Pelaksanaan Dugderan pada zaman sekarang hampir tidak berbeda dengan masa kepemimpinan Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Suara bedug dan meriam masih dibunyikan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Selain itu, tokoh setempat juga memberikan pengumuman awal Ramadhan kepada masyarakat yang hadir.
Tradisi Dugderan saat ini juga diisi dengan agenda-agenda lain yang semakin meriah, seperti pasar malam, kirab budaya, dan Warak Ngendok.
Pasar malam dan kirab budaya
Seperti pasar malam pada umumnya, pasar malam dalam rangkaian tradisi Dugderan diisi oleh pedagang barang atau makanan yang akan dimanfaatkan oleh warga setempat.
Selain itu, terdapat juga kirab budaya yang diarak di sepanjang jalanan kota. Warga pun senang menyaksikan kirab tersebut.
Warak Ngendok
Dalam pesta rakyat menyambut bulan Ramadhan di Semarang, terdapat sebuah maskot yang dikenal dengan nama Warak Ngendok. Warak sendiri berasal dari bahasa Arab 'wara' yang berarti suci, sedangkan Ngendok berarti bertelur.
Maskot tersebut dijadikan ajang untuk menjaga kesucian diri di bulan Ramadhan. Warak Ngendok berbentuk seperti pinata atau menyerupai kambing dengan kepala naga berwarna-warni.
Terdapat pula telur rebus untuk melengkapi maskot Warak Ngendok
Editor : zainal arifin