Lelaki itu menghambur memeluknya. ‘’Ya Allah, anakku, anakku. Ayah kangen, Nak. Kangen…’’ dekapnya tanpa menahan tangis. Anak itu membalas, memeluk dan juga mengatakan betapa dia juga sangat kangen ayahnya. Keduanya larut dalam peluk kerinduan.
‘’Nak, mengapa kamu di sini? Apa yang kamu tunggu? Mengapa kamu tidak ikut teman-temanmu berbaris ke surga? Mengapa lilinmu tidak nyala?’’
Anak itu mencium pipi ayahnya. ‘’Aku terus menyalakan lilin ini kok, Ayah. Tapi tiap kali kunyalakan, air mata ayah memadamkannya. Aku melihat ayah sangat sedih, dan perasaan itu sangat mengikatku, menahanku. Itulah sebabnya aku menunggu di sisi gerbang surga ini, sampai Ayah tidak sedih lagi. Sampai Ayah ikhlas, dan tak ada lagi air mata Ayah yang memadamkan lilinku.’’
Mendengar itu, tangis si Ayah pun pecah. Dipeluknya anak kesayangannya itu, sekencang-kencangnya. Diciuminya seluruh tubuh bocah itu. Lalu, sembari menahan tangis, dia guncang bahu si anak, ‘’Nak, ayo! Nyalakan lilinmu, dan pergilah. Pergilah bersama mereka, ke surgamu. Ayah akan baik-baik saja. Ayah akan baik-baik saja. Karena Ayah juga tahu, kamu juga baik, bahagia, di surga,’’ katanya.
‘’Pergilah Nak, Ayah janji, tidak akan menangis lagi…’’ bisiknya, sembari melepaskan pelukan.
Editor : zainal arifin