SEORANG ayah yang kehilangan anaknya meratap tiada henti. Itu memang anak kesayangannya, yang telah dia nantikan lebih dari 7 tahun. Dan ketika lahir, dan dia rawat sepenuh cinta, bertumbuh sampai balita, anak itu kemudian meninggal. Panas tinggi dan sakit yang telat terdeteksi menjadi penyebab.
Dia menangis. Siang malam. Meratap.
Di kamarnya, di atas sajadah yang basah air mata, dia menggugat, ‘’Tuhan, mengapa? Mengapa?’’
Di atas sajadahnya, sehabis salam, dia meminta, ‘’Tuhan, aku rindu. Aku rindu anakku. Aku rindu wanginya, aku rindu tawanya, aku rindu tangisnya. Aku rindu ya, Allah…’’
Di kamarnya, di kasurnya, dia tidur sambil tersedu.
Istrinya, yang tak terlelap, memeluknya, menggenggami jemari suaminya, menatapnya dengan mata basah, berbisik, ‘’Sabar ya Ayah, sabar. Kuat ya Ayah, kuatlah…’’
Istrinya kemudian juga terisak.
Tapi, di dalam mimpinya, lelaki yang terisak itu, justru mendapatkan bentakan. ‘’Cukup!! Hentikan tangismu,’’ teriak seorang lelaki tua.
‘’Aku tidak bisa berhenti menangis. Aku tidak bisa melihat dan memeluknya lagi. Jangan minta aku melupakannya, aku nggak bisa,’’ sergah lelaki itu.
‘’Baiklah. Apakah kamu ingin melihat anakmu lagi?’’ tawar pak tua.
‘’Aku mau, aku mau. Mana anakku, mana?’’
Maka lelaki tua itu pun menuntunnya, berjalan dalam lorong yang dipandu cahaya, sampai ke gerbang surga. Di sana dia melihat banyak anak kecil yang tertawa, tergelak bersama. Begitu bahagia. Anak-anak itu saling membawa lilin yang nyala, bersenda gurau, berkejar-kejaran, berteriak girang.
‘’Siapa anak-anak ini?’’ tanyanya.
Lelaki tua itu berkata, ‘’Inilah anak-anak yang dipanggil lebih awal, mendahului orang tua mereka. Mereka belum punya dosa, sangat dicintai ayah-ibu dan keluarganya. Mereka langsung berjalan dengan lilin ke surga. Mereka bahagia.’’
‘’Tapi di mana anakku? Di mana? Mengapa anakku tidak bersama mereka? Kau janji kan akan mempertemukanku?’’ tukasnya.
‘’Ikuti aku,’’ ajak si lelaki tua.
Mereka pun bergerak ke sisi gerbang surga. Di sana, seorang lelaki kecil dengan senyum yang indah tengah melihat gerombolan anak-anak tadi yang berbaris berkejaran memasuki gerbang surga. Lelaki kecil itu berdiri dengan lilin yang tak bernyala. Dan tiba-tiba, dia memekik gembira, ‘’Ayah, ayah… benarkah itu Ayah?’’
Lelaki itu menghambur memeluknya. ‘’Ya Allah, anakku, anakku. Ayah kangen, Nak. Kangen…’’ dekapnya tanpa menahan tangis. Anak itu membalas, memeluk dan juga mengatakan betapa dia juga sangat kangen ayahnya. Keduanya larut dalam peluk kerinduan.
‘’Nak, mengapa kamu di sini? Apa yang kamu tunggu? Mengapa kamu tidak ikut teman-temanmu berbaris ke surga? Mengapa lilinmu tidak nyala?’’
Anak itu mencium pipi ayahnya. ‘’Aku terus menyalakan lilin ini kok, Ayah. Tapi tiap kali kunyalakan, air mata ayah memadamkannya. Aku melihat ayah sangat sedih, dan perasaan itu sangat mengikatku, menahanku. Itulah sebabnya aku menunggu di sisi gerbang surga ini, sampai Ayah tidak sedih lagi. Sampai Ayah ikhlas, dan tak ada lagi air mata Ayah yang memadamkan lilinku.’’
Mendengar itu, tangis si Ayah pun pecah. Dipeluknya anak kesayangannya itu, sekencang-kencangnya. Diciuminya seluruh tubuh bocah itu. Lalu, sembari menahan tangis, dia guncang bahu si anak, ‘’Nak, ayo! Nyalakan lilinmu, dan pergilah. Pergilah bersama mereka, ke surgamu. Ayah akan baik-baik saja. Ayah akan baik-baik saja. Karena Ayah juga tahu, kamu juga baik, bahagia, di surga,’’ katanya.
‘’Pergilah Nak, Ayah janji, tidak akan menangis lagi…’’ bisiknya, sembari melepaskan pelukan.
Si anak tersenyum, mencium tangannya, dan berbisik, ‘’Aku jalan duluan ya, Ayah…’’
Lelaki itu hanya mengangguk. Dipandangnya lekat tubuh anak lelaki kecilnya itu berjalan menjauh, dilekatkan dalam ingatannya. Ketika tubuh anaknya menghilang, masuk ke gerbang surga, lelaki itu pun tersenyum. Meski, tetap ada yang basah di sudut matanya.
Editor : zainal arifin
Artikel Terkait