Menghadapi Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia: Waktu untuk Perubahan yang Mendalam

Priatin
Priatin – Ketua Korkom IMM Unimus 2021. Foto: ist

iNewsSoloraya.id - Tulisan ini disusun untuk menyoroti masalah yang mengguncang Indonesia hari ini - sebuah masalah yang harus diberantas dengan penuh keseriusan dan determinasi. Kita menghadapi krisis kekerasan seksual yang meresahkan, sebuah krisis yang sangat meresahkan dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia.

Data terkini dari Laporan Tahunan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan) 2020 menunjukkan bahwa dalam 12 tahun terakhir, insiden kekerasan terhadap perempuan meningkat mencapai 792%. Laporan Catahu tahun 2022 lebih lanjut mencatat adanya 338.496 laporan kekerasan terhadap perempuan, dengan 4.660 kasus kekerasan seksual. Namun, yang perlu diingat adalah data ini hanyalah puncak gunung es; mayoritas korban tidak melapor, sesuai dengan temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2022 yang menyatakan bahwa 9 dari 10 korban kekerasan seksual memilih untuk berdiam diri.

Indonesia telah mengesahkan sejumlah regulasi penting untuk menangani isu ini, seperti Undang-Undang 12 tahun 2022 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 30 tahun 2021, namun dalam konteks pendidikan tinggi, perjuangan bebas dari kekerasan seksual masih jauh dari kata selesai.

Ada empat tantangan kunci yang membatasi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, yang perlu kita diskusikan dengan serius.

Pertama, seringkali pemangku kebijakan di lingkungan kampus meremehkan seriusnya kekerasan seksual dan menganggapnya hanya sebagai masalah etika. Dalam berbagai kasus, laporan kekerasan seksual sering kali dikendalikan oleh komisi etika kampus, yang kerap hanya mengakibatkan pemindahan mahasiswa korban ke dosen atau pembimbing lain sebagai tindakan respons. Pendekatan ini terlalu sederhana dan jauh dari memadai, karena menganggap bahwa pelanggaran etika sama dengan tindakan kekerasan seksual.

Kedua, perlu dicatat bahwa kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan. Ini adalah kesalahpahaman dalam masyarakat yang masih terperangkap dalam pola pikir patriarki. Kita harus mengakui bahwa laki-laki juga dapat menjadi korban. Sebagai contoh, kasus seorang mahasiswa laki-laki yang menjadi korban pelecehan oleh seorang rekan sejawat adalah sebuah peringatan bahwa kekerasan seksual adalah gejala sistemik yang lebih kompleks, bukan hanya masalah moralitas atau etika semata.

Ketiga, dalam banyak diskusi, kita terjebak pada konsep persetujuan (consent) yang sering salah diinterpretasikan sebagai konsensual. Persetujuan adalah prinsip dasar dalam segala hubungan seksual yang sehat dan adil. Ini berarti bahwa setiap tindakan seksual harus didasarkan pada izin yang jelas dan diberikan dengan kemauan bebas oleh semua pihak yang terlibat. Namun, terkadang, mahasiswa dihadapkan pada situasi yang sulit. Contohnya, seorang mahasiswa dapat memberikan persetujuan karena diiming-imingi nilai yang lebih tinggi dalam kursus tertentu atau karena merasa tekanan sosial. Meskipun tampak seperti persetujuan, hal ini sebenarnya mencerminkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, yang merupakan inti dari masalah dalam kekerasan seksual.

Keempat, banyak yang menganggap upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual memerlukan sumber daya besar. Memang benar, regulasi mengharuskan pembentukan Tim Penanganan Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai badan yang menangani masalah ini, namun harus diingat bahwa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual adalah perjalanan yang memerlukan komitmen bersama. Ini bukan masalah sepele yang bisa diselesaikan dengan penugasan resmi saja.

Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual memerlukan pendekatan yang lebih mendalam dan kesadaran yang lebih luas. Penting untuk memahami bahwa integrasi materi kekerasan seksual dalam kurikulum, peran mahasiswa, dosen, dan staf, serta kerja sama lintas sektor bukan sekadar tugas, melainkan sebuah kewajiban moral. Ini adalah langkah awal dalam upaya menjadikan kampus sebagai lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual, di mana setiap anggota dapat tumbuh dan belajar tanpa rasa takut.

Penting untuk dicatat bahwa perubahan nyata dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi memerlukan upaya yang serius, komitmen yang kuat, serta pendekatan yang inklusif. Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa tidak ada lagi ruang bagi kekerasan seksual di lingkungan akademik. Terlepas dari tantangan yang ada, kita patut menghargai dan mendukung langkah-langkah pemerintah dalam melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual, terutama dengan mengambil langkah-langkah konkret dan progresif yang mendukung semua korban, tanpa memandang gender. Semoga upaya ini membawa perubahan positif yang mendalam dan mendorong transformasi yang sangat dibutuhkan dalam menangani krisis kekerasan seksual di Indonesia. 

Editor : zainal arifin

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network