Palembang, iNewsSoloraya.id - Hari Ahad Wage, 3 Maret 2024, seusai tugas menghadiri Muktamar IMM ke XX di Palembang, kami berkesempatan mengunjungi kebun sawit milik kolega Doni Irhamsyah yang berada di desa Gumai, kecamatan Gelumbang, kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Setelah sarapan di kedai pempek Pak Raden kota Palembang, kami berempat menuju lokasi melalui jalan tol Palembang-Muara Enim. Dari exit tol Muara Enim masih menempuh waktu kurang lebih 40 menit, menyusuri kawasan perkebunan sawit hampir di sepanjang perjalanan. Kami sangat menikmati jalan tanah keras yang cukup lebar dengan mobil double cabin milik Saiful.
Saiful, teman yang juga memiliki kebun sawit yang lokasinya berhimpitan dengan kebun Doni. Dia memiliki kebun sawit dua petak yang lokasinya masih satu desa, masing-masing seluas 65 hektar dan 12 hektar. Sebagian tanaman sawit yang berusia 3 tahun milik Saiful sudah mulai berbuah tahun ini. Sementara milik Doni baru mulai ditanami dan dibudidayakan 6 bulan lalu. Semuanya merupakan replanting tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Replanting atau penanaman kembali perkebunan kelapa sawit rakyat merupakan salah satu cara alternatif untuk menjaga kelangsungan perkebunan sawit di masa yang akan datang. Lahan yang dimiliki Saiful (77 hektar) dan Doni (48 hektar) adalah lahan sawit yang dibeli dari bekas tanaman sawit yang telah berusia diatas 20-25 tahun dan sudah tidak produktif lagi.
Sebagaimana diketahui bahwa tanaman sawit merupakan tanaman perkebunan yang boros air. Kelapa sawit mampu bertahan di lahan yang dikelilingi air tatkala musim hujan dan banjir. Meski air menggenangi batang tanaman, asal janjang buahnya tidak terendam air maka tidak akan busuk dan tetap dapat dilakukan pemanenan. Kebetulan lahan yang hendak kami kunjungi saat ini lokasinya tergenang air, sehingga membutuhkan perahu sampan (Jawa : gethek) untuk mencapai lokasi kebun sawit milik Doni.
Setelah memarkir mobil dan beristirahat sejenak di “pondok” (Jawa : rumah gubuk), saya melihat tong berisi ikan selinca (Jawa : sepat) dan lele. Selain untuk kebutuhan lauk, ikan tersebut juga dijual ke pasar dengan harga Rp 15.000 per kilogram. Lumayan buat tambahan penghasilan pekerja kebun. Cara menangkap ikan cukup sederhana yaitu dengan membuat jaring segi empat yang ditali ke-empat sisinya lalu ditautkan dengan bambu dan dibenamkan ke dalam air sungai di depan pondok. Sehari bisa mendapatkan beberapa kilogram ikan selinca dan ikan lele.
Sambil menunggu pekerja kebun menyiapkan sampan, kami ngobrol sambil menikmati kopi dan melihat pemandangan perkebunan sawit sejauh mata memandang. Berdasarkan data BPS tahun 2022, luas perkebunan sawit di Provinsi Sumatra Selatan 1.230.966 hektar. Di kabupaten Muara Enim terdapat 81.665 hektar, menduduki urutan keenam. Lima kabupaten yang memiliki lahan sawit terluas, yaitu Musi Banyuasin (314.099 Ha), Ogan Komering Ilir/OKI (228.430 Ha), Banyuasin (202.758 Ha), Musi Rawas (131.971 Ha), dan Musi Rawas Utara (96.416 Ha).
Menyusuri Sungai
Jika musim kemarau tiba, sebenarnya kita bisa mengunjungi langsung sampai di lokasi perkebunan yang jaraknya 3 kilometer dari jalan utama kawasan perkebunan sawit. Namun mengingat saat ini musim penghujan maka hampir seluruh kawasan perkebunan sawit di Gumai terendam air. Sungai yang kami lalui dengan sampan pada hakekatnya merupakan parit yang membelah batas antar kebun. Selain berfungsi sebagai batas lahan, juga sebagai penangkal kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sering terjadi di sebagian lahan gambut.
Lahan sawit di Gelumbang Muara Enim merupakan lahan gambut yang tipis, tidak setebal lahan gambut di Kalimantan yang pernah saya lihat. Ketebalan gambut lahan milik Doni hanya 10-15 centimeter. Sehingga relatif mudah untuk ditanami berbagai tanaman sela berupa sayuran dan buah-buahan semusim. Terlihat sekilas tanahnyapun relatif subur ditanami cabai rawit, terong, tomat dan waluh. Ada juga nanas, pepaya, alpukat dan kemiri sebagai tanaman “pethetan” sambil menunggu tanaman sawit berproduksi awal di usia 3 tahun.
Tidak terasa kami berempat sampai di lokasi kebun sawit milik Doni, setelah 30 menit mengayuh sampan. Lumayan berkeringat dan harap maklum karena belum terbiasa mengayuh sampan sebagaimana lagu “nenek moyangku seorang pelaut”. Kami disambut Puji Raharjo dan Sarji, dua orang pekerja kebun sawit milik Doni di ujung kebun. Setelah sampan ditambatkan, kami berjalan menyusuri pinggiran kebun menuju pondok yang dilengkapi listrik tenaga matahari (solar cell) 150 Watt. Asik juga suatu ketika menginap disini, jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Bagi Hasil
Puji Raharjo, berasal dari Tugu Mulyo, Ogan Komering Ilir. Kedua orang tuanya transmigran asal Jawa, bapaknya asli Blitar Jatim dan ibunya Tegal Jawa Tengah. Sedangkan Sarji berasal dari Merah Mata, Sumijawi, Musi Banyuasin, kedua orang tuanya transmigran asal DI Yogyakarta. Sebulan hingga dua bulan sekali mereka bergantian pulang ke rumah mengunjungi keluarga. Ketika saya tanyakan ke Raharjo : ”kapan wangsul OKI (kapan pulang ke OKI) pak?”. Dengan tersenyum dia menjawab : ”mangkeh sekalian riyaya pak (nanti sekalian lebaran)”.
“Eman tandurane lombok sampun sami uwoh, regine pas sae (sayang sekali tanaman cabai sudah mulai berbuah, harganyapun sedang bagus)”, ujar Raharjo.
“Pinten regine sakmeniko”, tanya saya.
”Alkamdulillah seket ewu sekilo (alhamdulillah, Rp 50 ribu per kilogram)” jawabnya polos.
Di pinggiran kebun sawit milik Doni ditanami cabai rawit sebanyak 10.000 batang seluas hampir 1 hektar. Selain itu juga ditanami cabai keriting, terong dan waluh sekedar sebagai pelengkap. Jika biaya bibit dan pupuk per tanaman cabai rawit Rp 3.000, maka dibutuhkan modal sebesar Rp 30 juta. Semua modal dari pemilik lahan. Dengan hasil cabai per batang tanaman rata-rata sebanyak 2 kg selama berbuah (6 bulan), maka akan diperoleh hasil sebanyak 20.000 kg (20 ton) atau setara Rp 100 juta. Setelah dikurangi biaya modal dan saprotan, hasilnya dibagi dua. Masing-masing 50% untuk pemilik dan 50% untuk pekerja kebun sawit.
Menurut penuturan Saiful, tidak semua pekerja kebun sawit rakyat memiliki ketrampilan dan keuletan seperti Raharjo dan Sarji yang bekerja di kebun milik Doni. Biasanya pekerja yang berasal dari keluarga transmigran Jawa memiliki ketrampilan dan pengalaman yang lebih baik dalam memanfaatkan lahan yang tersedia, sambil menunggu tanaman sawit berbuah. Pola bagi hasil (Jawa:maro) juga diberlakukan untuk tanaman sawit rakyat. Sejak mulai pengolahan tanah, penanaman dan perawatan tanaman sawit, pekerja kebun diberi upah setara UMK per bulan hingga tanaman mulai berproduksi pada usia 3 tahun. Setelah berproduksi, maka hasil penjualan Tandan Buah Segar (TBS) dibagi 2, masing-masing 50% menjadi hak pemilik lahan dan 50% menjadi hak pekerja kebun.
Tanaman sawit dapat berproduksi hingga usia 20-25 tahun, dengan hasil optimal pada usia 7 hingga 18 tahun. Biasanya produksi puncak terjadi pada usia tanaman 10 sampai 16 tahun. Dengan jumlah tanaman per hektar 135-150 batang, rata-rata akan diperoleh TBS sebanyak 2,5 hingga 3 ton per hektar per bulan. Setara dengan 30-40 ton per hektar per tahun. Jika harga TBS saat ini Rp 2.000-2.500 per kg, maka akan diperoleh hasil sebesar Rp 5 juta hingga 7,5 juta per bulan per hektar. Apabila kita memiliki 20 hektar, maka akan diperoleh pendapatan Rp 100 juta hingga 150 juta per bulan. Jika dibagi 2 dengan pekerja, masing-masing mendapatkan Rp 50 juta hingga Rp 75 juta per bulan, atau Rp 600 hingga 900 juta per tahun selama 10-16 tahun. Sebuah pendapatan yang cukup besar sebagai petani kelapa sawit.
Berapa investasi yang dibutuhkan untuk berkebun tanaman sawit?. Harga lahan di Gelumbang Muara Enim sekitar Rp 30 juta per hektar. Biaya modal kerja : bibit, pupuk dan saprotan, tenaga kerja, dan biaya lainnya, sejak tanam hingga panen (3 tahun) kurang lebih Rp 60 juta per hektar. Tinggal menghitung dan dikalikan luas lahan yang hendak kita miliki dan kelola.
Mendung menggantung di langit menandakan hujan akan segera datang. Waktupun sudah sore, kamipun segera pulang menaiki sampan. Namun kali ini Raharjo yang mendayung sampan dan mengantarkan kami sampai pondok di pinggir jalan, tempat mobil kami terparkir sejak siang. Sayup-sayup suara adzan maghrib terdengar di tengah perjalanan pulang. Sebelum memasuki gerbang tol Muara Enim, kami mampir di sebuah warung makan. Untuk melaksanakan shalat jamak qashar maghrib dan isya’ sekaligus makan malam pindang patin khas Palembang. Semoga usaha perkebunan sawit rakyat makin berkembang, menguntungkan, bermanfaat dan memberikan keberkahan bagi petani, pelaku UMKM Pangan di Indonesia.
Wallahu’alam
Palembang, 3 Maret 2024
*) Ketua LP UMKM PWM Jawa Tengah, Pemerhati Pangan dan Agribisnis.
Editor : zainal arifin
Artikel Terkait