Respon Praktisi Keamanan Siber Mengenai 6 Juta Data NPWP Bocor, Ada Nama Jokowi, Kaesang dan Gibran.
Jakarta (INEWS) - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan tengah mendalami kasus dugaan kebocoran atau peretasan data terhadap database pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP).
"Terkait dengan informasi kebocoran data yang beredar, saat ini tim teknis DJP sedang melakukan pendalaman," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Dugaan bocornya data NPWP mencuat setelah muncul postingan di laman media sosial X milik FalconFeedsio yang menampilkan tangkapan layar dari sebuah forum thread yang berjudul 6 MILLION INDONESIA TAXPAYER IDENTIFICATION NUMBER. Yang menampikan bahwa data yang bocor itu telah juga diperjual belikan secara publik dengan oleh si peretas.
Selain NPWP, data yang juga terseret di antaranya nomor induk kependudukan (NIK), alamat, nomor handphone, email, dan data lainnya.
Harga jual seluruh data itu mencapai Rp150 juta.
Yang mengejutkan adalah data yang bocor juga diduga termasuk milik Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) serta putranya yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Selain itu, sejumlah menteri juga termasuk dalam daftar seperti Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Menteti BUMN Erick Thohir, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, hingga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Informasi mengenai kebocoran data NPWP itu juga ditanggapi oleh seorang praktisi keamanan siber asal indonesia bernama Achmad Yusuf, yang juga dikenal sebagai praktisi keamanan komputer yang bekerja sebagai Red Team Lead dan IT Security Researcher, mengungkapkan keprihatinannya atas kejadian ini.
Menurut Yusuf, kebocoran data sebesar ini mencerminkan lemahnya sistem keamanan di lingkungan pemerintahan, khususnya dalam pengelolaan data pribadi.
"Ini bukan kali pertama sih data pribadi masyarakat Indonesia bocor, dan seharusnya pemerintah sudah belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya. Seperti halnya PDN kemarin harusnya sudah cukup untuk merefleksi serta menyadarkan kita untuk berbenah dalam segi keamanan data. Jika data sensitif seperti NPWP, NIK, dan informasi kontak bisa diperjualbelikan secara bebas, ini menunjukkan ada celah serius dalam tata kelola keamanan data negara kita" ujar Yusuf saat diwawancarai oleh rekan media.
Yusuf juga menyoroti pentingnya memperkuat regulasi dan sistem keamanan digital di instansi pemerintah. “Tidak cukup hanya dengan investigasi atau pendalaman terhadap hal ini, perlu ada langkah nyata dan reformasi menyeluruh dalam sistem keamanan. Jika tidak, ini akan terus berulang, dan publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap perlindungan data pribadi mereka,” tambahnya.
Terkait dugaan keterlibatan data milik Presiden dan keluarganya, Yusuf menilai bahwa hal ini bisa memberikan tekanan politik tambahan untuk pemerintah. “Ketika tokoh-tokoh penting seperti Presiden dan menteri juga terkena dampaknya, ini mungkin bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menangani isu keamanan siber,” tegas Yusuf.
"Janji penguatan sistem sudah sering kita dengar, tapi kebocoran tetap saja terjadi dan terus terjadi. Waktunya berhenti bicara dan mulai bertindak, ini isu serius, dan harus ada penanganan setelah mitigasi tadi, agar benar-benar tidak terulang kembali" pungkasnya.
Peretasan yang disertai dengan peredaran data sensitif di pasar gelap ini menjadi tanda bahwa ancaman terhadap keamanan digital Indonesia semakin meningkat.
Kasus ini akan terus dipantau, mengingat dampaknya yang meluas dan melibatkan banyak pihak penting dalam pemerintahan.
Editor : zainal arifin
Artikel Terkait