MEMANJAKAN mata dan lidah. Itulah janji yang diberikan Tungkubumi, Bandungan, Kabupaten Semarang. Dan janji itu tak diingkari. Resto yang belum lama buka dan langsung populer ini memang meletakkan wisata kuliner dalam arti yang sebenarnya. Pengunjung berwisata, menyerap keindahan suasana, dan di saat yang bersamaan lidah mencecap kenikmatan makanan.
Berjarak 57 menit dari Semarang, resto ini memang sangat menggoda untuk didatangi. Pertama tentu, pesona Bandungan. Ini kawasan wisata yang memang sudah terkenal sejak dulu. Jadi, Tungkubumi tersanderakan langsung dengan imaji Bandungan yang sejuk, indah, ramah, murah. Dan itu tak terpungkiri.
Resto ini ditata untuk menangkap keindahan itu secara maksimal. Ada dua bangunan yang dapat difungsikan sebagai tempat makan, dan satu area outdoor. Di area outdoor itu, mata pengunjung akan bisa kelayapan ke semesta arah, dan cuma indah yang tertangkap. Apalagi jika pagi, saat kabut belum sepenuhnya pergi, dari lantai dua resto akan terlihat bagaimana Tuhan memainkan kuasnya. Hamparan sawah terasering hijau, barisan pepohonan kelapa yang diselimurkan kabut, terpapar indah dengan kanvas kapas-kapas langit. Sesekali, jika angin menderas, kabut pun tersibak, memunculkan gugusan gunung di kejauhan.
Pemandangan yang manis. Juga magis.
Jadi, jangan heran jika para pengunjung berlomba menangkap momen itu dengan kamera, dan menjadikan kanvas Tuhan sebagai latar belakang.
‘’Saya sudah dua kali ke sini. Sebelumnya menjelang senja, wuih, indah sekali. Langit seperti gadis remaja yang jatuh cinta, kemerahan dengan matahari yang pelan-pelanm terbenam. Pagi ini, langit seperti habis mandi, hujan membuatnya terlihat bersih sekali. Semua saya videokan,’’ kata Rinai, salah satu pengunjung, yang kali kedua ini mengajak keluarganya.
Antre Makan
Rinai tidak berlebihan. Nyaris setiap sudut resto ini layak sebagai objek foto. Di sudut belakang kanan, ada pondokan kecil, memberi aksentuasi yang manis. Di sisi kanannya, terpapar kolam kecil penuh ikan mas, yang kecipakannya memberikan nada-nada tersendiri bagi pengunjung. Apalagi ketika para pengunjung memberi makan, cukup membayar Rp 5000, maka gelepar ikan yang berlomba menjeput makanan, makin memberi warn pada pagi berkabut itu.
Berkonsep resto penuh kayu, Tungkubumi terlihat menjaga warna Jawa secara maksimal. Namun, pengunjung tetap dimanjakan dengan kelengkapan resto modern. Parkir yang luas, meja-meja yang terasa hommy karena tak bersesakan, stop kontak tersedia banyak, dan wifi yang juga kencang. Pokoknya betah berlama, berkemera tanpa perlu takut ponsel kehabisan daya. Mushola ada, toilet juga bersih. Playground untuk anak-anak pun tersedia.
Bagaimana dengan makanannya?
Dengan konsep semacam itu, dapat dibayangkan tentu makanan rumahan, lauk ndeso yang tersaji. Tak terlalu beragam, tapi cukup untuk menghangatkan perut. Lodeh ada, oblok-oblok tersedia, telur dadar pasti, sop, gereh layur, dan juga oseng daun pepaya. Itu menu yang siap saji. Resto ini juga menyediakan sate kambing, opor, tengkleng, tongseng, rawon, dan lainnya, serta aneka minuman.
Rasanya? Harganya?
Menu rumahan tentulah tidak mengecewakan. Seperti masakan ibu di rumah. Tak membosankan, selalu menemukan tempat di lidah kita. Harga juga tentulah tidak mahal. Tak sampai Rp 50.000 untuk seporsi dengan lauk lengkap, plus minumnya.
Jika pun ada yang kurang asik, cuma satu: pengunjung kudu sabar mengantre, terutama jika di jam makan siang. Bisa panjaanggg dan lamaaa. Ini karena area mengambil makanan dan membayar di satu garis, sehingga proses menghitung dan membayar menahan para penunjung yang lain.
‘’Harusnya dibuat mekanisme sehingga pengunjung tidak harus antre begini. Tidak elok, jadi berdesakan dan lama. Yang bawa anak kecil atau orang tua, jadi kasihan juga,’’ keluh Sinta, pengunjung dari Salatiga.
Nah, Anda yang ingin memanjakan mata dan lidah, layak segera menuju ke Tungkubumi. Buka sejak pukul 10.00 sampai 22.00, Anda boleh membetahkan diri di sana, mulai pagi sampai senja, dari langit memucat jingga, membiru, lalu memerah senja, sampai gelap jelaga. Yakinlah, keindahan saja yang akan terasa.
Editor : zainal arifin