Jualan Kepiluan
Sepertinya rumus media kita memang tak beranjak dari dua hal: kabar buruk adalah kabar baik. Makin buruk sebuah peristiwa makin baik bagi industri media.
Tentu saja rumusan itu akan banyak dibantah. Media tidak semurung itu, televisi tidak seburuk itu, dan alasan lainnya dengan segudang argumentasi yang dapat dijupuk di sana-sini. Tapi, kenyataan hari-hari ini, dengan sejuta pembenaran pun, menunjukkan bahwa wajah industri media memang tak beranjak dari hal itu. Berselancar di ombak kepiluan, yang punya dua efek bersamaan: memancing simpati dan atau antipati.
Kasus Norma Risma dan sengkarut asmaranya yang melibatkan Rozy suaminya dan ibu kandungnya, adalah contoh yang tak terbantahkan.
Prahara asmara anak-suami-mertua ini semula hanya makanan media online yang memang haus sensasi. Tapi, kepiluan Norma, dan sandaran moralitas di kepala kita, mau tak mau membuat kita juga mengikuti drama ini. Tapi tentu, kita tak berharap ada kejutan-kejutan yang tak terbayangkan.
Kulikan media sosial, yang disergap media berita online, membuat kita dipaksa untuk masuk dalam labirin kronologis: habis itu apa lagi?
Maka kehausan kronologi itu pun dipenuhi. Rozi sudah berasmara dengan calon mertua, sejak berpacaran dengan Norma. Dimaafkan, Norma bersedia dinikahi Rozy. Tapi, hubungan terlarang itu tetap terjadi. Bahkan di bulan puasa pun, mereka tetap berolah asmara. Cukup? Tidak dong. Tiap malam, mereka kerap berkirim pesan mesra via ponsel, untuk memancing gairah sebelum bertemu untuk dituntaskan, mencueki Norma yang terlelap di samping Rozy. Puncaknya, Rozy dan mertua digerebek tetangga. Kabarnya, tanpa busana. Bumbunya, keduanya menyembah ke warga agar tak digiring dalam keadaan polos. Micinnya, ayah mertua terluka dan menuntut cerai.
Editor : zainal arifin