DI DALAM acara seminar itu, mata El terpaku pada seorang gadis. Berjilbab ungu, gadis yang berada di barisan depan itu terlihat anggun, terutama ketika terlibat dalam diskusi. Kata-kata yang lahir dari bibirnya tertata baik, dan cenderung sangat lembut ketika menyanggah sebuah opini. Melihat adiknya, Nun, yang duduk di sampingnya selalu tersenyum ketika mendengar gadis itu berbicara, El paham, Nun pasti mengenalinya.
Saat istirahat, El pun meminta Nun untuk mengenalkannya. Nun tertawa, dan segera pergi, mencari gadis itu. El bergerak ke ruangan sebelah, menunggu di kafe kecil. Dan tak lama, dengan bersisian, mereka mendatangi El, yang mulai gugup dan berkeringat.
Seperti awalnya sebuah kenalan, mereka kaku dan canggung. Nun yang menjadi penengah, mencairkan suasana. Namun, tampaknya El bukan pembicara yang baik, dan gadis itu, Ila, juga tampak gugup. Dia mungkin tak terbiasa bersama lelaki yang baru dikenalinya. Karena itu, setelah saling bercakap sebentar, mengenalkan nama dan aktivitas di kampus dulu, Ila memohon pamit.
El kaget. Dia pun menahan Ila, sembari menyenggol lengan Nun. ‘’Kita ngopi dulu ya, sebentar saja...’’ Nun yang tanggap pun segera menahan Ila.
Menggapai pelayan kafe, El memesan. ‘’Tiga kopi hitam ya?’’ yang ternyata, Ila juga menyetujuinya. Nun tentu saja tak menolak.
Tak lama, pelayan datang dengan nampan berisi tiga cangkir kopi hitam. El langsung menyesapnya, terburu-buru. Dan segera berkata, ‘’Tolong tambahkan sedikit garam ya? Ini kurang...’’
Nun dan Ila kaget. Garam? ‘’Bang El meminum kopi dengan garam?’’ Ila bertanya, penasaran. Nun juga menatap heran. Tapi dia diam.
‘’Ee.. Ketika kecil, keluargaku tinggal dekat laut. Saya merasakan asinnya kehidupan waktu itu persis seperti kopi yang suka aku minum dengan garam hingga saat ini. Setiap kali saya minum kopi asin, saya ingat masa kecil, ingat kampung halamanku, ingat teman-temanku. ingat Nun yang selalu lelap saat kuceritakan dongeng. Saya juga jadi merindukan kedua orang tua yang hingga sekarang masih tinggal di sana. Kopi dengan garam adalah cara saya untuk selalu terhubung dengan masa lalu, dengan semua hal indah dalam kehidupanku dulu,’’ ucap El, sembari menyesap kopi itu lagi.
Ila termangu. Dia melihat El dengan mata yang berbeda. Lelaki yang romantis, penyayang, dan sangat menghargai kehangatan keluarga. Dari cerita El, dia menemukan kehangatan dan tanggungjawab, juga cinta yang begitu besar. Ketika dia melihat Nun yang diam, Ila makin teryakinkan bahwa El memang lelaki yang layak untuk dikenal lebih dekat.
Setelah pertemuan pendek itu, Ila jadi menerima ajakan El tiap bertemu, dengan atau tanpa Nun. Akhirnya, ila menyimpulkan bahwa El adalah lelaki yang sesuai dengan kriteria calon suami yang selama ini dinanti-nanti. El adalah seorang lelaki yang cerdas, baik hati, penuh kasih sayang, dan Ila selalu ingin bertemu dengannya.
Tidak lama kemudian, El dan Ila menikah. Kehidupan keluarga mereka nyaris tanpa kekurangan. Keduanya saling pengertian. Jika ada masalah, selalu mereka bicarakan untuk dicarikan solusi bersama. Satu kebiasaan yang selalu dilakukan Ila adalah selalu menambahkan sedikit garam ketika menyeduhkan kopi untuk El.
Setelah 40 tahun hidup bersama, El meninggal dunia. Beberapa hari setelah pemakaman, Ila menemukan selembar kertas dengan tulisan tangan El,
“Belahan jiwaku, mohon maafkan aku karena aku telah berdusta selama hidup bersamamu. Satu-satunya dusta yang aku lakukan terhadapmu adalah tentang kopi asin. Kamu masih ingat pertemuan pertama dalam acara di kafe itu? Aku minta adikku Nun untuk mengundangmu ke meja kami dan ternyata kamu tidak keberatan. Saking kagetnya, ketika itu aku benar-benar gugup. Ketika aku ingin meminta gula kepada pelayan, karena saking gugupnya aku malah meminta garam.
Aku malu untuk meralat permintaanku.
Baru pertama kali itulah aku minum kopi asin, tetapi sejak saat itu pulalah hati kita bertaut.
Sekarang aku sudah terbujur kaku dalam liang lahad. Aku sudah tidak merasa takut lagi kamu mengetahui hakikat sebenarnya. Betul, aku tidak suka kopi asin. Rasanya aneh sekali, lidahku selalu terkejut merasakan pahit kopi dan asin garam. Tetapi sepanjang hidupku aku selalu meminumnya bersamamu dan aku sangat menikmatinya. Sebabnya, karena ada kamu bersamaku, dan ada kenangan kita, yang lebih manis dan hangat daripada secangkir kopi dengan gula.
Jadi sayangku Ila, jika pun aku diberi kesempatan hidup lagi, aku tetap akan hidup bersamamu kendati harus tetap minum kopi asin itu lagi.
Aku mencintaimu, Ila. Aku akan tetap mencintaimu dari dunia yang jauh dan berbeda ini, dan semoga di sini aku masih bisa mengingat tentang kopi asin cinta kita itu, sembari menunggu kehadiranmu. Aku mencintaimu Ila, selalu.”
Air mata Ila menetes membasahi surat El itu, yang tak jemu dia ciumi, berkali-kali. ‘’Tunggu Ila, Bang. Di sana nanti, tetap akan kuseduhkan kopi asin untukmu, juga untukku,’’ bisiknya, sembari tersedu.
Editor : zainal arifin