SEORANG ALIM menjadi guru dan tempat curhat warga di sebuah desa. Apapun permasalahan warga, pasti meminta pendapatnya. Hari-harinya adalah mendengar masalah dan keluhan warga, di mana pun dia berada.
Ketika dia di rumah, warga datang dan mengeluh. Saat dia ke masjid, apalagi. Bahkan, ketika jalan atau lari pagi, warga acap menghentikannya dan mulai mengeluhkan hidupnya.
Si alim pun mulai galau.
Dia jenuh dengan semua keluhan yang datang. Dadanya penuh, sumpek dengan semua itu.
Maka, setiap habis isya, dia pun mengumpulkan warga. Di depan semua orang itu, dia melontarkan kisah lucu. Semua warga tertawa. Terpingka-pingkal. Bahagia.
Di hari kedua, dia juga kembali memberikan lelucon. Warga tertawa, ngakak bersama.
Di hari ketiga, dia kembali melontarkan lelucoh sehabis Isya. Sebagian warga tertawa, sebagian mulai diam dan menatapinya.
Di hari keempat, saat leluconnya kelar, tak ada lagi satu warga yang tertawa. Semua diam, menatapnya dengan heran.
‘’Kami bosan dengan semua kisah lucu ini. Udan nggak lucu lagi,’’ kata seorang warga.
Yang lain mengiyakan, bersepakat.
Dengan tenang, si Alim pun menyahuti, ‘’Jika satu kisah lucu yang diulang-ulang saja kalian cepat sekali merasa bosan, tapi mengapa kalian tidak bosan mengeluhkan masalah yang sama setiap hari, saat bertemu dengan saya?’’
Semua warga terdiam. Mereka baru sadar, si alim ternyata tengah menyindir perilaku mereka sendiri.
Mereka memang pengeluh. Mereka memang sibuk mengeluhkan masalah, sibuk mengungkapkan keterbatasan diri. Fokus pada keluhan, fokus pada masalah dan lupa mencari solusi. Mereka lebih sibuk membebani si alim dengan keluhan-keluhan daripada bersama mencari cara menyelesaikannya.
Setelah itu, warga pun berikhtiar bersama, dan kepada si alim mereka tak lagi mengeluh, tapi mendiskusikan solusi yang akan mereka lakukan.
Hidup seharusnya memang diisi sebanyak-banyaknya kelucuan dan bukan keluhan. Karena ketika kita tertawa dan rileks semua persoalan, seperti tiba-tiba, memberi jalan keluar sendiri.
Editor : zainal arifin