SEORANG ayah yang kehilangan anaknya meratap tiada henti. Itu memang anak kesayangannya, yang telah dia nantikan lebih dari 7 tahun. Dan ketika lahir, dan dia rawat sepenuh cinta, bertumbuh sampai balita, anak itu kemudian meninggal. Panas tinggi dan sakit yang telat terdeteksi menjadi penyebab.
Dia menangis. Siang malam. Meratap.
Di kamarnya, di atas sajadah yang basah air mata, dia menggugat, ‘’Tuhan, mengapa? Mengapa?’’
Di atas sajadahnya, sehabis salam, dia meminta, ‘’Tuhan, aku rindu. Aku rindu anakku. Aku rindu wanginya, aku rindu tawanya, aku rindu tangisnya. Aku rindu ya, Allah…’’
Di kamarnya, di kasurnya, dia tidur sambil tersedu.
Istrinya, yang tak terlelap, memeluknya, menggenggami jemari suaminya, menatapnya dengan mata basah, berbisik, ‘’Sabar ya Ayah, sabar. Kuat ya Ayah, kuatlah…’’
Istrinya kemudian juga terisak.
Tapi, di dalam mimpinya, lelaki yang terisak itu, justru mendapatkan bentakan. ‘’Cukup!! Hentikan tangismu,’’ teriak seorang lelaki tua.
‘’Aku tidak bisa berhenti menangis. Aku tidak bisa melihat dan memeluknya lagi. Jangan minta aku melupakannya, aku nggak bisa,’’ sergah lelaki itu.
‘’Baiklah. Apakah kamu ingin melihat anakmu lagi?’’ tawar pak tua.
‘’Aku mau, aku mau. Mana anakku, mana?’’
Editor : zainal arifin
Artikel Terkait