Tongsengnya, mangstaf. Satenya, mbois tenan. Top markotop. Pokoknya cocok semua. Cuma, sate buntel yang saya kurang merasa istimewa. Biasalah. Mungkin karena daging giling dan terlalu gurih ya, terasa ‘’terlalu’’ di lidah, kekenyalan daging jadi berubah seperti olahan bakso panjang.
Nyaris 30 menit ritual khusuk itu kami jalani. Lalu, ketika tengkleng, gule, dan tongseng seperti melesap, hilang, kami pun sadar: ritual ini harus diakhiri. Betapa kenikmatan yang hanya sepanjang leher itu bisa melenakan sungguh.
Kok semua enak? Lha, memang enak kok. Masa bohong? Coba deh!
Soal harga? Lha, jika makanan enak, jangan bicara harga. Pamali. Jika ga enak, baru dicocokkan dengan harganya, hahaha…
Wis ya, ayo ke Mbok Galak. Kita akan tahu, rasa kambing bisa menyapa dengan begitu syahdu.
Editor : zainal arifin
Artikel Terkait