Di sisi lain, sumpah serapah, masuk neraka, dan setan juga hadir untuk Rozy dan mertua, serta celaan yang tak sanggup dituliskan isinya.
Di sisi lain lagi, ada komentar guyonan yang membuat kita akan tergelak dan kagum dengan sudut pandang netizen ini, ucapan yang lucu berbalut saru nginu-nginu, haha…
Norma adalah modal untuk membangun industri kepiluan. Air mata yang dia tumpahkan, dengan segala kisah yang semula kita bayangkan hanya sajian fiktif di FTV Indosiar, menjadi etalase yang memberi ruang amat besar bagi media untuk berselancar di dalamnya. Kita, di saat yang bersamaan, dipaksa untuk mengupat dan mengutuk, juga nangis bareng. Untung belum ada yang meletakkan tagar #bersamanorma.
Fajar adalah kepiluan di sisi yang lain, tapi dengan efek yang nyaris.
Bahkan, dari sisi visual, Fajar dapat menang disandingkan dengan Norma.
Jika dengan air mata Norma kita lebih ke geram atas kemalangannya, pada Fajar kita bisa geli dan tertawa-tawa.
Kisah Norma, dengan segala ‘’bentukan’’ media, tetap membuat kita dapat melihat kenyataan tentang jebolnya norma di depan asmara. Kisah Fajar dengan segala hiperbolanya, justru meletakkan kita sebagai penonton saja, dan Sad Boy sebagai aktor di panggung. Ayya, kekasih yang dihadirkan kemudian, adalah cameo penambah panjang pengadeganan.
Tapi pada kisah keduanya, dengan segala perbedaannya, media termasuk televisi, menempatkannya pada talenan yang sama: objek yang menghasilkan uang dengan berselancar di air mata keduanya.
Editor : zainal arifin
Artikel Terkait