Tapi tentu, penelitian itu tak menjadikan sebuah media, termasuk televisi, menjadi agen dari kesedihan. Apalagi jika kepiluan itu bersandarkan pada tabrakan norma, yang sangat harus hati-hati diberitakan, seperti kisah Norma, Rozy, dan mertua. Sebabnya, kadang penonton abai untuk menangkap mana ‘’berita’’ dan mana ‘’promosi’’.
Di titik inilah, harus ada kesepahaman di media, termasuk televisi, tentang etika pemberitaan menyangkut moralitas. Seviral apapun sebuah peristiwa, jika ada unsur tabrakan moralitas di dalamnya, harus super hati-hati untuk memberitakannya. Jangan, tanpa sadar, akhirnya memberi ruang yang lebar untuk ‘’penormalan’’ atas ‘’ketakbermoralan’’.
Di titik inilah, ‘’mengolah’’ dan menyajikan Fajar Cengeng lebih aman daripada berselancar di derai air mata Norma…
Editor : zainal arifin
Artikel Terkait